Corsair vs Zero

“Kami berada di ketinggian 18.000 kaki dan mengarahkan pesawat ke barat laut”, cerita Kapten R. Bruce Porter, seorang penerbang Korp Marinir AS (USMRC) mengenang pertempuran yang dilakoninya di Pasifik dalam PD II suatu hari. Tiga puluh dua Corsair dan Wildcat beriringan menuju sasaran yang ingin dituju.
“Sungguh saya tidak pernah mengira kalau penerbangan di hari itu terasa begitu menyenangkan. Saya hanya berpikir, hari begitu indah dan cerah. Langit begitu bersih bersih kulihat dari balik kokpit. Tapi semua berubah seketika saat earphone-ku membisikan peringatan mendadak: Tally ho! Zero berada di posisi jam 11. Angels 25,”.
Saya segera menghidupkan senapan mesin dan memutar reflector sight lengkap dengan kalibrasi jarak dalam wind screen di depan muka saya. Beberapa detik, sudah melintas kilatan kanopi berwarna perak di antara latar biru langit. Musuh mengarah dari berbagai arah. “Tentu saya tidak pernah luput untuk menekan knop senjata saya manakala feeling saya sudah menyuruh lepaskan tembakan. Jangkauan peluruku akan menyuduta pada jarak 300 yard dan menguliti sasaran dengan lingkaran jaket pelurunya yang setengah inci”.
Lalu Corsair-ku bergetar. Aku terus menekan tombol senapan mesinku. Saya lihat peluru-peluru hanya menyambar di atas kanopi pesawat sialan itu. Akhirnya saya putar Corsair dan mengarahkannya sekali lagi. Jika saja dia mau berduel saling berhadapan maka tentu dia akan lebih cepat hancur”.
“Zero itu kemudian melakukan manuver, dan sekejap telah hilang dari pandanganku! Saya benar-benar terpesona, dan dalam sekejapan itu pula saya tidak sadar bahwa saya sudah mengagumi kehebatan Zero. Saya secepatnya menyadarkan diri, lalu menarik joystick untuk segera melakukan belokan. Dia di sana! Tapi masih jauh dari jangkauan saya. Satu-satunya cara untuk mengelabuinya adalah bahwa saya harus melakukan loop dengan sudut yang kecil. Saya tahan nafas untuk mengurangi besarnya tekanan. Dan seketika saya berada tepat di bagian atas equilibrium, kulihat horizon sudah berada di bawah posisi kepalaku, dan Zero itu ada di sana!”.
“Sekarang atau tidak sama sekali, begitu sumpah saya. Zero itu mungkin tidak pernah mengira kalau saya akan melakukan manuver tergila yang pernah saya lakukan. Saya tembaki kanopinya. Tembakan saya mulai mengena. Kaca itu mulai pecah dan berhamburan. Tapi semburan pecahannya itu justru menyebabkan saya tidak bisa melihat orang di dalamnya. Tak peduli, pikir saya. Selanjutnya saya arahkan gempuran-gempuran peluruku pada bagian sayapnya. Tidak sia-sia, sayap itu terbelah dua. Dan ketika berhasil mengenai tangkinya, Zero itu terbakar, saya berhasil melumatnya!.



Sumber: Majalah Angkasa


0 comments: